Kamis, 05 Mei 2011

surat perjanjian dagang

Surat Perjanjian Dagang
Kami yang bertanda tangan di bawah ini masing – masing :
1. N a m a : Yudistira
Jabatan : Merchandiser
Bertindak atas nama : PT Matahari Putra Prima tbk.
Selanjutnya disebut sebagai pihak Pertama ( Buyer )
2. N a m a : Jayadi
Jabatan : Marketing
Bertindak atas nama : PT Cipta Kreasi Mandiri Perkasa
Selanjutnya disebut sebagai pihak Kedua ( Suplier )
Pihak Pertama dan Kedua masing – masing dalam hal ini mewakili perusahaan, kemudian dalam surat perjanjian dagang ini disebut sebagai Buyer dan Suplier.Telah menyepakati hal – hal yang tertuang dalam surat perjanjian dagang ini sebagai berikut :

Pasal 1
Buyer
Yang di maksud dengan Buyer dalam surat perjanjian dagang ini yaitu pihak yang akan membeli hasil produksi dari PT Cipta Kreasi Mandiri Perkasa yang berbentuk pakaian jadi ( Garment ).
Pasal 2
Suplier
Yang di maksud dengan Suplier dalam surat perjanjian dagang ini yaitu pihak yang akan menjual hasil produksi dari PT Cipta Kreasi Mandiri Perkasa secara FOB (free on board) yang berbentuk pakaian jadi ( Garment ).

Pasal 3
Purchase Order
Pihak pertama (buyer) dalam setiap pemesanan pakaian akan membuat PO # yang ditujukan kepada pihak kedua (suplier) yang memuat jumlah barang , warna barang, harga barang, tanggal pengiriman barang, cara pembayaran,dan jangka waktu pembayaran.
Pasal 4
a. Jumlah Barang dan Warna Barang
Pihak pertama (buyer) akan menentukan baik jumlah maupun warna barang yang dipesan dan pihak kedua sebagai suplier akan memenuhi jumlah dan warna sesuai pesanan buyer dengan ketentuan bahwa buyer hanya akan menerima pengiriman barang dari suplier sesuai dengan jumlah pesanan dengan toleransi pengurangan jumlah maksimum 5% dari jumlah PO #.
b. Harga Barang
Harga barang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak bersifat mengikat dan tidak bisa berubah kecuali ada negosiasi ulang.
c. Tanggal Pengiriman Barang
Pihak pertama (buyer) didalam PO # mencamtumkan tanggal pengiriman barang dan pihak kedua (suplier) harus mengirim barang sesuai dengan yang tercantum dalam PO #. Apabila pihak kedua (suplier) tidak bisa mengirim barang tepat waktu sesuai dengan yang tercantum di dalam PO # maka pihak kedua (suplier) akan mendapatkan sanksi yang selanjutnya akan diatur didalam surat perjanjian ini.
d. Cara Pembayaran dan Jangka Waktu Pembayaran
Dalam ketentuan surat perjanjian dagang ini pembayaran akan di lakukan secara TT (transfer otomatis) dengan jangka waktu 60 hari setelah pihak pertama (buyer) menerima pengiriman barang dari pihak kedua (suplier), dengan ketentuan pihak kedua telah mengirimkan nota invoice kepada pihak buyer 30 hari setelah pengiriman barang.

Pasal 5
Sanksi
Yang dimaksud dengan sanksi dalam perjanjian dagang ini yaitu sanksi yang mengikat terhadap pihak kedua (suplier), apabila pihak kedua tidak bisa memenuhi baik waktu pengiriman maupun jumlah barang yang telah dipesan oleh pihak pertama (buyer) dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Apabila pihak kedua (suplier) dengan pengiriman barang terlambat satu window akan dikenakan denda sebesar 5% dari harga retail.
2. Apabila pihak kedua (suplier) dengan pengiriman barang terlambat dua window akan dikenakan denda sebesar 10% dari harga retail.
3. Apabila pihak kedua (suplier) dengan pengiriman barang terlambat tiga window akan dikenakan denda sebesar 15% dari harga retail.
4. Apabila pihak kedua (suplier) dengan pengiriman barang terlambat empat window akan dikenakan denda sebesar 20% dari harga retail.
5. Apabila pengiriman barang lebih dari empat window maka PO # tersebut dibatalkan oleh pihak kedua (buyer).
Pasal 6
Penutup
Hal-hal yang belum diatur dalam surat perjanjian dagang ini akan ditentukan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang.

perjanjian

A. Perjanjian
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Selain itu arti perjanjian yng lain adalah persetujuan antara dua orang atau lebih, dalam bentuk tertulis yang dibubuhi materai, yang meliputi hak dan kewajiban timbal balik, masing-masing pihak menerima tembusan perjanjian itu sebagai tanda bukti keikutsertaannya dalam perjanjian itu.
B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. adanya kesepakatan di antara mereka yang mengikatkan dirinya. Hal ini maksudnya para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuat. Kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena kekeliruan/kekhilafan atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan;

2. adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Maksudnya, cakap adalah orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Sedangkan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu:

- Orang-orang yang belum dewasa. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, orang belum dewasa adalah anak di bawah umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan;


- Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433 KUHPer,yaitu orang yang telah dewasa tetapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros;

- Orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu,misalnya, orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan. Jika pihak dalam suatu perjanjian kredit adalah suatu perseroan terbatas (PT) maka syarat kecakapan ini terpenuhi apabila PT tersebut telah disahkan oleh menteri kehakiman dan telah didaftarkan dalam daftar perusahaan serta diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI.

3. adanya suatu hal tertentu. Artinya, dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan;

4. adanya suatu sebab yang halal. Artinya, suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau yang diperbolehkan oleh undang-undang. Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dalam ilmu hukum, syarat kesatu dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena mengenai subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif, karena mengenai objek yang diperjanjikan dalam perjanjian.

Jika syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat.

Sedangkan, kalau syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum. Artinya, dari semula dianggap tidak pernah ada sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).


C. Jenis Jenis Perjanjian
Jenis- Jenis Perjanjian ada dua, yaitu :
1. Perjanjian yang dikenal dengan nama khusus
2. Perjanjian yang tidak dikenal dengan nama khusus. Contohnya: Sewa beli, Bank Garansi, Novasi

1. Perjanjian yang dikenal dengan nama khusus

Perjanjian yang diatur secara khusus di dalam undang-undang dan diberi nama resmi di dalam undang-undang, disebut juga perjanjian khusus.

a. Buku III Titel 5-18 KUH Perdata
- Jual Beli - Penghibahan
- Tukar Menukar - Penitipan Barang
- Sewa menyewa - Pinjam Pakai
- Sewa Beli - Pinjam Meminjam
- Perjanjian untuk melakukan pekerjaan - Perjanjian untung-untungan
- Pengangkutan - Pemberian Kuasa
- Persekutuan - Penanggungan Utang
- Perkumpulan - Arbitrase
- Perdamaian

b. KUHD
- Jual Beli Perniagaan - Asuransi/pertanggungan
- Persekutuan Perniagaan - Pengangkutan
- Perjanjian Perwakilan Khusus - Perjanjian dengan surat berharga

c. UU Khusus
- PT - Koperasi
- Yayasan - Pengangkutan

3. Perjanjian Tidak Bernama (innominat kontrak)

Perjanjian yang belum diatur dalam UU dan belum diberi nama resmi :

a. Perjanjian Campuran
Perjanjian yang didalamnya terkandung unsur dari berbagai perjanjian bernama lain
• Perjanjian beli sewa
• BOT (pemerintah dengan investor)
b. Contractus Sui Generis (Mempunyai Sifat Khusus)
Terkandung unsur dari perjanjian lain tapi sudah bercampur sedemikian rupa sehingga memberikan karakter yang khas.
Masyarakat yang terus berkembang menyebabkan perjanjian tak bernama semakin banyak.

D. Hal- Hal Yang Menyebabkan Batalnya Perjanjian

Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUH Perdata, terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian. Alasan itu dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori sebagai berikut :
a. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk
jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum;
b. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yang berakibat:
1. Perjanjian batal demi hukum
2. Perjanjian dapat dibatalkan
c. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat
d. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana
e. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang- undang.

• Perjanjian Batal Demi Hukum (Null and Void; Nietig)
Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.
Berikut ini restatement tentang alasan mengapa perjanjian batal demi hukum, yaitu :

a. Batal Demi Hukum Karena Syarat Perjanjian Formil Tidak Terpenuhi
Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian, atau pun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian formil batal demi hukum. Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum. Formalitas tertentu itu, misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau pejabat hukum lain yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik menurut undang-undang. Beberapa contoh perjanjian di bidang Hukum Kekayaan yang harus dilakukan dengan Akta Notaris sebagai berikut.
- Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan utang atas tunjuk dari tangan ke tangan: Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata.
- Pendirian perseroan terbatas: Pasal 7 butir 1 UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

b. Batal Demi Hukum Karena Syarat Objektif Sahnya Perjanjian Tidak Terpenuhi
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Herlien Boediono sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti.Objek perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 ayat (1). Berdasarkan Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk sahnya perjanjian maka objeknya haruslah tertentu, atau setidaknya cukup dapat ditentukan. Objek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:
1. Dapat diperdagangkan;
2. Dapat ditentukan jenisnya;
3. Dapat dinilai dengan uang, dan
4. Memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

c. Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang Melakukan Perbuatan Hukum
Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbekwaamheid) harus dibedakan dengan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). Mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang- undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu. Jadi, seseorang yang oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia juga tidak cakap. Dengan kata lain, orang yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan tindakan hukum ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu menurut undang-undang. Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undangundang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum. Artinya, ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak tersebut adalah mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan undang-undang tertentu, dikategorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu. Dapat pula terjadi seseorang dinyatakan tidak wenang melakukan perbuatan hukum tertentu karena menurut undang-undang, orang tersebu tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan tertentu. Contoh: UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 55 yang berbunyi: “ Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali di pasar sekunder. Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dinyatakan batal demi hukum”. Pasal 56: “(1) Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada Pemerintah. (2) Dalam hal Bank Indonesia melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian pemberian kredit kepada Pemerintah tersebut batal demi hukum”.

d. Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi
Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu
yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh, yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat lahirnya perjanjian yang bersangkutan. Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebut bahwa “Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu”. Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH Perdata adalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan bahwa “Semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika perikatan tergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan itu adalah sah”. Alasan dari ketentuan ini masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian
semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal aneh kalau tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu tidak menghendakinya.
Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau bahkan yang dilarang oleh undang-undang, adalah batal demi hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata yang berbunyi “Semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh UU adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tak berlaku”.

E. Hukum Dagang
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.

Perkembangan Hukum Dagang di Dunia

Perkembangan hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) .

Tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hukum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi
Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tenteng kedaulatan

Dan pada tahun 1807 di Perancis di buat hokum dagang tersendiri dari hokum sipil yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE ) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673) dan ordonnance du la marine(1838) . Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hokum dagang tersendiri yaitu KUHD belanda , dan pada tahun 1819 drencanakan dalam KUHD ini ada 3 kitab dan tidak mengenal peradilan khusus . lalu pada tahun 1838 akhirnya di sahkan .

KUHD Belanda berdasarkan azas konkordansi KUHD belanda 1838 menjadi contoh bagi pemmbuatan KUHD di Indonesia pada tahun 1848 . dan pada akhir abad ke-19 Prof. molengraaff merancang UU kepailitan sebagai buku III di KUHD Nederlands menjadi UU yang berdiri sendiri (1893 berlaku 1896).Dan sampai sekarang KUHD Indonesia memiliki 2 kitab yaitu , tentang dagang umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran



Sumber :
http://www.forumbebas.com/thread-90686.html
http://www.gudang-hukum.co.cc/2009/12/pengertian-definisi-hukum-dagang.html
http://www.gudang-hukum.co.cc/2009/12/sejarah-perkembangan-hukum-dagang.html